Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjamin keterlibatan aktif perempuan dalam pembangunan desa. Proses pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi ruang strategis bagi perempuan untuk terlibat. Sehingga kebijakan pembangunan desa mempunyai visi keadilan gender dan inklusif.
Hal tersebut muncul saat diskusi pembahasan modul Sekolah Perempuan, Sabtu (2/5) di Yogyakarta. Arrum Widyatasari dari Lingkar Pembaharuan Desa dan Agraria (KARSA) mengungkapkan pentingnya pengetahuan tentang pasal-pasal dalam UU Desa yang membuka partisipasi. Pun, penting bagi perempuan untuk membacai UU Desa sebagai dasar pengetahuan.
“Pada pasal 3 UU Desa menyebutkan asas partisipasi dan kesetaraan,” ujar Arrum
Partisipasi tidak hanya dimaknai sebagai bentuk kehadiran fisik tetapi sebagai usaha-usaha untuk memengaruhi perencanaan, kebijakan dan penganggaran. Sehingga, selain pengetahuan tentang UU Desa, keterampilan berbicara dan lobi penting untuk dikuasai. Supaya suara atau usulannya bisa didengar dan diterima.
Sekolah Perempuan dirancang sebagai ruang pembelajaran bagi perempuan untuk implementasi UU Desa, berjudul “Kepemimpinan Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa”. Materi pembelajaran dalam Sekolah Perempuan meliputi pengetahuan tentang gender, perempuan dan pembangunan desa, pemetaan sosial, potensi dan aset desa, serta pemberdayaan ekonomi perempuan.
Untuk pemetaan sosial tantangannya adalah merancang perangkat dan metode pengumpulan data yang berperspektif gender. Sehingga, data yang diperoleh dapat sesuai dengan kondisi warga. Selain itu, data yang diperoleh mempunyai pengaruh pada perencanaan, pelaksanaan, dan alokasi pendanaan pembangunan desa yang inklusif.
Belajar dari pengalaman
Lian Gogali dari Institut Mosintuwu Poso mengisahkan bagaimana cara sekolah perempuan di Poso belajar dari pengalaman. Misalnya, dalam memahami UU Desa, para perempuan menuliskan sendiri bagaimana pengalaman mereka dalam musyawarah desa.
“Misalnya, apakah dalam musyawarah desa, apakah perempuan turut diundang? Kalau tidak siapa saja yang diundang? Kalau diundang apakah mereka turut berbicara dan usulannya diterima? Setelah itu baru melihat apakah kondisi mereka sesuai dengan UU Desa atau tidak,” terang Lian.
Teknik pembelajaran berbasis pengalaman juga membantu para perempuan untuk memahami materi. Bukan menggunakan istilah-istilah teoritik yang susah dimengerti, melainkan dengan berbagai media seperti cerita dan bermain. Dengan demikian, pengetahuan lebih cepat dipahami karena sesuai dengan kondisi yang dihadapi sehari-hari.
Hal senada juga disampaikan oleh Mukhtib MD. Menurutnya metode pembelajaran dapat dimulai dengan contoh pengalaman sehari-hari. Pilihan ini layaknya metode berpikir induktif, dari contoh-contoh kecil kemudian beralih ke konsep yang lebih besar. Cara yang dilakukan bisa beragam, seperti studi kasus, permainan, sandiwara, dan pengalaman individu.
“Belajar dari pengalaman menjadi basis pendidikan kritis,” tegas Mukhotib.