Disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 6/2014 tentang desa menjadi momentum penting perubahan aras pembangunan di Indonesia. Melalui UU ini, desa mendapatkan pengakuan sekaligus peran yang cukup signifikan dalam proses pembangunan. Tidak semata itu, UU Desa mengembalikan hak asal-usul dan keragaman yang melekat pada desa. Desa bergeser menjadi subyek pembangunan, bukan semata obyek.
Hal tersebut disampaikan oleh Farid Hadi, Senior Adviser Infest, dalam rapat kerja penyusunan rincian program Desa Mampu, Senin (9/2/2014) di Hotel Cakara Kusuma, Yogyakarta. Program yang didukung oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Pemerintah Australia melalui skema Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU) ini bertujuan untuk mendorong desa menjadi obyek, bukan subyek pembangunan. Program bertajuk “Penguatan Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintahan Desa Melalui Pemanfaatan ICT dan Penguatan Akses Perempuan pada Pembangunan di Tingkat Desa” ini mencoba membangun ragam pendekatan yang dapat digunakan untuk pengembangan Desa.
Infest memandang UU Nomor 6/2014 menjadi salah satu peluang dan titik tolak penting dalam upaya mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan di tingkat desa. Disahkannya UU Desa memberikan kesempatan baru bagi pemerintah desa dan masyarakat untuk mengembangkan pendekatan, metode, dan cara dalam proses pengembangan pembangunan di tingkat desa.
Menurut Farid, terdapat lima perubahan penting dalam kepengaturan desa pasca disahkannya UU Desa, antara lain pengakuan terhadap keberagaman, kewenangan desa, konsolidasi keuangan dan aset, perencanaan yang terintegrasi, serta demokratisasi.
“Pemberian wewenang menjadi inti dari pemberdayaan. Desa mempunyai kewenangan untuk mengurus dirinya sendiri,” tegas Farid.
Selain itu, kedudukan desa tidak lagi berada di bawah pemerintah daerah tingkat II . Termaktub dalamPasal 5 UU Nomor 6/2014, desa berkedudukan di wilayah kabupaten atau maupun kota. Pasal tersebut melepaskan desa dari bayang-bayang kabupaten atau kota.
“Apabila dalam undang-undang sebelumnya dikatakan bahwa otonomi desa adalah bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, maka UU Desa menjelaskan otonomi desa sebagai pengakuan atas hak asal-usul, bukan lagi sisa dari otonomi daerah,” terang Farid.
Kondisi tersebut akan membawa arah baru dalam pola dan pendekatan pemberdayaan desa. Bukan dengan mencari kelemahan, melainkan mengoptimalkan aset dan kekuatan yang dimiliki oleh desa. Kritik yang muncul selama ini, pembangunan dan pemberdayaan selalu dimulai dengan mencari kelemahan. Sayangnya, solusi yang dimunculkan seringkali tidak tepat sasaran. Pendekatan tersebut membuat desa lupa terhadap aset dan kemampuan yang dimilikinya. .
Sebab, lanjut Farid, emansipasi ibarat menanam kurma. Di masyarakat Arab, sesaat setelah menanam biji kurma, tanah akan ditutup dengan batu. Cara ini bertujuan supaya perkembangan dimulai dari akar yang kuat, sebelum tunas menembus batu. “Dengan mengetahui kekuatannya, itulah (kekuatan) yang digerakkan,” ujar Farid. (Sofwan)