Oleh: Wawan Kuswanto, Ketua SBMI Banyuwangi
Salah satu program yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi saat ini adalah Smart Kampung. Karena Kabupaten Banyuwangi ini sangat luas, untuk menghubungkan satu desa dengan kota saja itu butuh waktu sekitar 4,5 jam, maka pelayanan kepada warga harus didekatkatkan melalui teknologi.
“Maka kami pilih smart kampung. Kalau di kota orang sudah terbiasa dengan smart city, tapi Banyuwangi membuat konsep smart kampung, yang bisa melipat jarak pelayanan menjadi lebih dekat,” ujar Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas di beberapa media massa.
Sebagai sebuah gagasan, Smart Kampung idealnya tidak hanya berkutat pada implementasi atau penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk desa, namun harus masuk pada ruang-ruang yang lebih substantif, dari bagaimana perencanaan pembangunan desa yang partisipatif, perbaikan pelayanan publik, penguatan pengetahuan SDM pemerintahan desa, keterbukaan informasi, tata kelola dana desa yang transparan dan akuntabel, hingga pembangunan desa yang inklusif atau memperhatikan kelompok yang selama ini terpinggirkan perannya dalam perencanaan pembangunan di desa seperti; perempuan, kelompok miskin, difabel, TKI atau buruh migran, dan lain-lain.
Cita-cita mendekatkan pelayanan melalui program Smart Kampung diharapkan juga melihat ragam kebutuhan pelayanan masyarakat di tingkat desa, dari pelayanan pokok terkait pendidikan, kesehatan, dan kependudukan, hingga pelayanan yang bersifat spesifik, misal pelayanan perlindungan buruh migran di desa-desa basis TKI di Banyuwangi. Sebagai informasi, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menempatkan Kabupaten Banyuwangi dalam daftar 15 Kabupaten dengan angka penempatan TKI terbesar di Indonesia, yakni rata-rata sekitar 7.000 warga Banyuwangi bekerja ke luar negeri setiap tahunnya.
Masih tingginya minat warga Banyuwangi untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI juga diikuti dengan masih maraknya percaloan, penipuan, dan ragam kasus serta pelanggaran hak yang dialami para calon TKI. Situasi ini seharusnya menjadi perhatian khusus Kabupaten Banyuwangi dalam mengimplementasikan program “Smart Kampung”.
“Sederhana saja, sekarang apakah pemerintah desa mengetahui kebijakan penempatan TKI?, apakah data lowongan kerja luar negeri yang ada di dinas tenaga kerja sampai dan terinformasikan hingga desa?, tentu tidak, saluran informasi ini putus, dinas tidak terhubung dengan desa, demikian pula sebaliknya, maka yang terjadi peran calo dan para pihak yang hanya mengambil keuntungan dari para TKI ini menjadi lebih dominan di desa, nah di konteks inilah gagasan Smart Kampung harus mampu menjadi solusi atas persoalan pelayanan TKI di desa.” tegas Agung Subastian, Koordinator Komunitas Bumi Blambangan SBMI Banyuwangi.
Di saat gaung progam Smart Kampung ramai menjadi berita media massa, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Banyuwangi mencatat beberapa fakta terkait pelayanan di pemerintahan desa:
- Pemahaman pelayanan masih terlalu sempit sebatas pelayanan administrasi kependudukan, Pertanahan, Perkawinan
- Sarana prasarana dan kapasitas SDM yang kurang memadai, tidak semua desa memiliki akses internet dan kapasitas pengetahuan TIK yang memadai.
- Tidak semua staf mampu mengerakan sarana prasarana yang ada untuk melayani masyarakatnya
- Pengetahuan seputar UU Desa beserta regulasi turunannya belum merata.
- Masih banyak pemerintahan desa di Banyuwangi yang tidak melibatkan komunitas atau kelompok masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan implementasi pelayanan (partisipasi masyarakat).
Persoalan di atas harus menjadi prioritas untuk dibenahi sebagai bagian dari tahapan implementasi program Smart Kampung. Fakta di atas juga menunjukkan bahwa skema pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam program Smart Kampung harus didudukkan sebagai alat, bukan tujuan. Apabila teknologinya sudah smart, tapi kesadaran, prilaku, dan kebijakan pemerintahan desa tidak smart, ya sama saja, pelayanan publik yang baik susah terwujud.
Lebih rinci terkait perlindungan TKI atau buruh migran dari hulu (desa), program Smart Kampung ala Kabupaten Banyuwangi sejatinya selaras dengan program nasional Desa Peduli Buruh Migran, yaitu bagaimana dengan pelayanan desa yang baik alias “smart”, kebutuhan buruh migran bisa terpenuhi. Idealnya ada beberapa layanan yang harus di lakukan oleh pemerintah desa dalam hal pelayanan kepada TKI, antara lain:
1. Layanan penyediaan informasi migrasi TKI. Dari tata cara atau proses penempatan, tata cara penyelesaian kasus, perencanaan usaha, pengelolaan keuangan, hingga reintegrasi dan rehabilitasi TKI yang mengalami kasus. Dalam hal pelayanan informasi, pemerintah desa harus terhubung dengan Dinas Tenaga Kerja serta dapat bekerja sama dengan kelompok Buruh Migran di tingkat desa dalam hal produksi serta pendistribusian informasi agar lebih mudah dan murah.
2. Layanan pendampingan kasus, tidak semua anggota keluarga Buruh Migran tahu cara melaporkan kasus, mengajukan bantuan hukum, dan membuat surat laporan. Sudah semestinya pemerintah desa dalam hal ini menghadirkan pelayanan pengaduan dan monitoring kasus.
Sebagaimana amanat Pasal 14 huruf f, Peraturan Menteri Desa Nomor 1 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, pemerintahan desa berwenang membentuk dan memfasilitasi paralegal. Dalam hal ini fungsi paralegal desa dapat dijalankan dengan melibatkan komunitas keluarga dan mantan TKI guna membantu desa dalam hal pelayanan pendampingan kasus.
3. Layanan reintegrasi dan rehabilitasi. Mayoritas TKI di Banyuwangi mengalami migrasi berulang, purna TKI kesulitan beradaptasi dengan kondisi di desa, terlebih saat mereka pulang dalam kondisi berkasus atau menjadi korban perdagangan manusia, sehingga memaksa mereka kembali berangkat ke luar negeri. Layanan ini dalam rangka menyiapkan purna TKI agar dapat berdaya di desa dan turut berperan dalam pembangunan ekonomi di desa.
Program Smart Kampung yang mulai digulirkan oleh Bupati Banyuwangi mesti direspon dengan tepat. Respon tersebut bertujuan untuk memperbaiki pelayanan pemerintah kepada kelompok buruh migran yang ada di desa-desa basis TKI.
Smart Kampung harus digerakkan ke wilayah yang lebih substantif, tidak sekadar implementasi program berbasis TIK di desa, melainkan menjadi upaya menumbuhkan pemahaman dan partisipasi semua elemen di desa termasuk kelompok atau komunitas TKI. Sudah saatnya Kabupaten Banyuwangi yang menjadi basis TKI menjadi contoh bagi kabupaten lain di Indonesia dalam mewujudkan perlindungan dan pemberdayaan TKI dari hulu (desa).