Baru satu bulan program sekolah pembaharuan desa dilaksanakan di desa Lubuk Bintialo, Kecamatan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, mampu membangkitkan semangat Sunarto, kepala desa tersebut untuk berpikir positif dalam memanfaatkan aset desa. Ia hendak membawa desanya menuju desa swasembada sayur dan lauk pauk.
“Masyarakat akan kami ajak mengurus perkebunan sayur,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya pada kamis petang (7/4/2016).
Sejauh ini, masyarakat Desa Lubuk Bintialo memang kurang mengkonsumsi sayuran. Jarak dengan pusat kota yang terlalu jauh menyebabkan masyarakat di desa ini tak bisa mendapatkan sayuran. Pasar desa yang buka pada hari kamis saja dirasa masih belum mencukupi kebutuhan sayuran bagi masyarakat desa ini.
“Ada sayuran di kalangan (pasar), tapi jenisnya tidak banyak. Harganya juga mahal,” ungkap salah seorang warga yang sedang di rumah Kades Lubuk Bintialo saat itu.
Rencana kepala desa untuk mengembangkan skill masyarakat di bidang perkebunan sayur itu akan diterapkan baik di pekarangan warga maupun di lahan perkebunan secara khusus.
“Lahan ada, bisa di pekarangan atau di lahan khusus. Nanti ada masyarakat yang menanam sayur mayur, beternak ikan, kambing, bebek, ayam dan sebagainya,” lanjut Sunarto. Kondisi geografis di desa Lubuk Bintialo yang berdekatan dengan Sungai juga menyimpan potensi air yang begitu besar. Masyarakat yang memiliki lubuk atau genangan-genangan air bisa memanfaatkannya untuk memelihara ikan. Genangan air yang ada di lahan masyarakat bisa digali lebih dalam kemudian dimanfaatkan untuk kolam ikan.
“Bisa juga potensi sungai kita ini dimanfaatkan untuk budidaya ikan keramba. Tidak seperti di Jawa, sungai kita ini relatif masih alami, belum tercemar. Saya sempat melihat di daerah lain ada budidaya ikan keramba. Nampaknya itu cocok juga untuk di sini,” Papar Sunarto.
Tak hanya kesadaran mengenai aset sumberdaya alam saja, Sunarto juga menyatakan bahwa banyak potensi bantuan dari perusahaan yang masuk ke desanya. Jika selama ini bantuan CSR dari perusahaan hanya berupa bangunan atau berbentuk pemberian uang, ke depan, ia berharap perusahaan dapat memberikan CSR yang mampu meningkatkan skill masyarakat. Dengan demikian, perusahaan dapat memberikan sumbangsih pada kemandirian masyarakat desa.
“Selain program yang sudah berjalan selama ini (bantuan pembangunan infrastruktur), nantinya perusahaan di desa ini akan kami minta untuk memberikan pelatihan-pelatihan yang cocok dengan potensi yang dimiliki desa,” lanjutnya.
Mengenai aset sumber daya manusia, kepala desa yang yang baru menjabat selama satu tahun ini mengeluhkan mengenai tingkat pengangguran. Banyak anak muda desa Lubuk Bintialo yang tak diterima oleh perusahaan di desanya sendiri.
“Kami mendorong perusahaan-perusahaan itu untuk merekrut pemuda lokal tapi banyak sekali alasannnya. Katanya tak punya skill lah, tak punya pendidikan lah,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Menanggapi hal tersebut, Widodo, Program Officer Sekolah Pembaharuan Desa di Kabupaten Musi Banyu Asin mencoba mengajak desa untuk melakukan introspeksi. Dengan alasan hutang budi terhadap desa yang ditempatinya, desa sering kali menuntut perusahaan untuk menuruti permintaannya, termasuk menerima orang lokal sebagai tenaga kerja. Bisa jadi penolakan perusahaan atas tenaga kerja lokal terjadi karena spesifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan tidak cocok dengan apa yang dimiliki oleh SDM lokal.
Melalui pemetaan aset desa, nantinya akan dilakukan pendataan dan analisa seluruh aset dan potensi desa. Dilakukan analisa tantangan pengembangan aset tersebut, kemudian dilakukan perencanakan langkah-langkah strategis pengembangan aset-aset tersebut.
“Misalnya soal kekayaan aset SDM pemuda desa tadi, ada tantangan bahwa pemuda desa tidak bisa bekerja di perusahaan. Alasan atau sebabnya adalah tidak memiliki skill. Maka akan kita diskusikan bagaimana strategi atau cara agar pemuda desa bisa diterima perusahaan. Salah satu contoh hasil perumusan strateginya adalah desa merencanakan program pelatihan skill pemuda desa, memfasilitasi kursus atau memberikan beasiswa pendidikan bagi pemuda desa yang potensial. Desa berwenang dalam hal itu,” ungkap Widodo.
Dengan cara semacam ini, rencana pembangunan desa tentu akan lebih sistematis dan benar-benar berbasis pada kebutuhan bukan sekadar keinginan. Widodo juga menambahkan bahwa program program pembangunan desa yang baik adalah program yang dibutuhkan, bukan sekadar yang diinginkan. Sebuah program, jika dibutuhkan sudah tentu menjadi keinginan. Sebaliknya, jika sekadar diinginkan, seringkali tidak dibutuhkan.
“Ilustrasinya mudah, ada di sekitar kita. Misalnya keberadaan lapangan futsal yang nampak tak terawat. Menandakan bahwa lapangan itu tak terpakai. Kenapa tak terpakai? Karena dulu masyarakat usul dengan bermotif keinginan. Saya juga menemukan di forum sebelumnya, bahwa masyarakat menginginkan adanya Mall di desa ini. Lantas kalau ada Mall di sini, siapa yang mau jualan dan siapa yang mau beli. Ini pola pikir berbasi keinginan. Pelan-pelan nanti akan kita rubah cara berpikir masyarakat kita,” pungkas Widodo. [nasrun]